Rapunzel dan homeschooling

Beberapa bulan yang lalu, Aku menonton Rapunzel di bioskop bareng Atala. Aku jadi teringat homeschooling dan asumsi orang lain terhadap homeschooling.

Lho, memang hubungannya Rapunzel dengan homeschooling apa? Ya, tahu dong Rapunzel tinggalnya dimana? di tower tinggi banget tanpa tangga, sehingga orang lain tidak bisa masuk, jauh di pelosok hutan sehingga tidak ditemukan. Kalau dari persepsi Rapunzel, dia sedang dilindungi oleh sang ibu Gothelnya dari segala ancaman mara bahaya dunia ini. Supaya dia bisa selamat.

Aku seperti tersadar, bahwa seperti itulah pandangan orang luar mengenai homeschooling. Aku sudah jauh menyakini homeschooling, jadi lupa bagaimana orang luar melihatnya. Rapunzel yang sendirian berusaha menyibukan diri untuk membunuh waktu. Melukis. Membaca. Menjahit. Semua hal yang “akademis” dan “intelektual”. Dan bertanya-tanya, “kapan ya my life begin?”

Makanya berkali kali berulang kali, orang luar akan berkata, “bagaimana dengan sosialisasi? kasian nanti kesepian dan bosan”. kesepian dan bosan. That’s homeschooling assumption.

Apakah sungguh asumsi? Aku tanpa sengaja pernah membaca skripsi (universitas di Indonesia) di internet tentang penelitian anak homeschooling, dan kesimpulannya, menurut penelitian itu, anak homeschooling yang diteliti merasa kesepian dan bosan. Lho? ternyata ada toh orangtua yang mempraktekkan “homeschooling” seperti begitu?

Lucunya, bagi para homeschooler, penggambaran Rapunzel di tower tanpa tangga dan jauh didalam hutan itu justru gambaran untuk anak sekolahan. Anak-anak sekolah yang terperangkap dalam gedung yang bahkan diberi pagar tinggi dan dijaga satpam biar tidak ada “kabur” atau lebih buruk, tidak ada yang masuk untuk melakukan tindak “yang tidak diinginkan”. Jauh dari “dunia nyata”. Di dalam gedung tersebut, anak-anak Melukis. Membaca. Menjahit. Melakukan hal untuk membunuh waktu. Semua hal yang “akademis” dan “intelektual”. Kalau dari persepsi anak-anak sekolahan, mereka sedang dilindungi oleh sang ibu Gothelnya dari segala ancaman mara bahaya dunia ini. Supaya mereka bisa selamat. Supaya masa depan mereka terjamin.

Apakah ada yang mempertanyakan sosialisasi anak sekolah? ga ada masalah toh? kan banyak anak-anak disitu? Rasanya, tidak ada yang mempertanyakan apakah anak-anak sekolahan bisa merasa kesepian dan bosan (yang kenyataannya banyak). Dan mereka pun juga bertanya-tanya, “kapan ya my life begin?”

Hal ini juga terlihat dari film anak-anak “Finding Nemo” , dimana diawal film, sang ayah ragu menyekolahkan anaknya karena “it’s not safe out there”. Artinya, keinginan supaya anak tidak sekolah merupakan cara ayah “mengurung” dan membuatnya tetap “aman terkendali”. Ini juga bisa jadi simbol bagaimana anak tetap dalam “kontrol” orangtua.

Sebaliknya, dalam film “happy feet”, si mumble yang tidak betah sekolah dan mengutarakan keinginan untuk “bekerja sama bareng ayah bunda”, malah dibentak sama ayahnya dengan mengatakan, “kau harus tetap sekolah, until you get yourself an education!”. Lagi-lagi kontrol orangtua.

Intinya aku mau ngomong apa ya? Ya intinya, parent control itu ada dimana-mana. Sebagai orangtua, kemungkinannya selalu ada dorongan untuk mengontrol anak kita. Apapun motif dibalik itu. Lalu, sejauh manakah “kontrol” orangtua terhadap anak sesungguhnya? konon selalu akan ada yang memberi masukan, “hati-hati, kalau tidak bisa mengontrol anak, maka anak yang mengontrol kita”. artinya, sebagai orangtua kita senantiasa diingatkan supaya kendali harus berada ditangan kita. Maka dimana-mana selalu ada “tips and trick” supaya orangtua selalu berada dalam kendali. Entah untuk kebaikan si anak, untuk ketenangan pribadi, atau untuk motif yang lainnya. Sebagian orangtua, melakukannya dengan cara frontal: mulai dari sikap otoriter maupun dari sikap mudah marah saat merasa “hilang kontrol”. Sebagian orangtua melakukannya dengan ala nanny 911, ada punishment, ada reward, ada peraturan A B C D, dan sebagian orangtua lain melakukannya dengan cara yang lebih halus dan tersamar. Seperti mother Gothel di film Rapunzel yang menggunakan cinta, rasa aman, dan bahkan rasa bersalah kepada Rapunzel jika melakukan sesuatu “diluar” persetujuan si ibu.

Kalau dipikir-pikir, Mother Gothel mungkin sesungguhnya bisa jadi menggunakan kontrol yang lebih powerful dari jenis kontrol manapun. Dia menggunakan “pengaruh”nya untuk mengontrol Rapunzel, dan pengaruh tidak bisa terjadi tanpa adanya trust (percaya) dari Rapunzel. Artinya, Mother Gothel “bersusah payah” membangun relationship dengan Rapunzel, sehingga trust (percaya) itu hadir. Karena, tidak semua orangtua mau “bersusah payah” membangun trust dengan anaknya supaya “pengaruh orangtua” selalu ada dalam kehidupan si anak.

Maka, yang perlu ditanyakan adalah, apakah sungguh hubungan orangtua dan anak itu merupakan hubungan “adu kekuatan” ?? siapa mengontrol siapa? siapa yang lebih kuat mengontrol yang lebih lembek??

Lalu pertanyaan berikutnya, memangnya ada alternatif lain selain ini? lalu kalau tanpa kontrol, bagaimana kita bisa “mengendalikan” anak kita?? 🙂

Bagaimana menurut Anda?? 🙂