Tulisan ini merupakan Kulwapp di Grup WA K’Super Muslim, April 2015
Assalammualaikum Wr.Wb,
Selamat malam ibu-ibu K’Super…terima kasih atas kesempatannya untuk membahas 3 jalur pendidikan. Saya juga masih belajar,
jadi kalau nanti ada yang perlu ditambahkan atau dikoreksi, silakan aja ya….
Saya akan mulai dari UU Pendidikan, biar lebih afdol… bisa dilihat disini http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf (UU No. 20 tahun 2003)
ada 3 jalur pendidikan, pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.
Sepertinya disini juga sudah pada mengerti bahwa pendidikan formal biasanya kaitannya dengan sekolah, pendidikan nonformal berkaitan dengan les-lesan,
dan pendidikan informal berkaitan dengan belajar secara otodidak, atau belajar bersama yang dikelola oleh masyarakat secara bersama, misalnya
les tari atau les ngaji di sebuah lingkungan rumah dengan memanggil guru untuk belajar bareng2.
Pendidikan informal, bisa juga dilakukan dengan cara Live-in, mentoring, dan internship. Live-in maksudnya adalah dimana kita tinggal di rumah seorang ahli
yang kita percaya untuk belajar banyak dari beliau. Mentoring, maksudnya tentu saja menjadikan orang tersebut jadi mentor kita, dan internship adalah bentuk
magang diluar pendidikan formal. Sepertinya contoh yang biasa dilakukan di jepang adalah ketika seseorang ingin menjadi mangaka (penulis komik), lalu
dia mendatangi salah satu komikus yang dia kagumi, dan meminta beliau menjadi mentor. Lalu orang itu pun tinggal bersama (live in), menjadi asisten (internship)
tanpa dibayar. Sepertinya urusan live-in ini nanti bisa dijelaskan Mba Wulan dengan lebih seksama 🙂
Pendidikan informal, bisa juga didapat dengan cara “hackschooling”. yang dimaksud dengan hackschooling adalah jika ada seseorang yang kuliah “gelap” di sebuah tempat pendidikan tinggi dengan seizin dosennya. Nanti, setelah lulus dari mata kuliah tersebut, mendapatkan referensi dari si dosen kalau orang tersebut pernah mengambil kuliah tersebut, atau bahkan memberikan referensi ke dunia kerja saat si orang tersebut melamar pekerjaan yang berhubungan dengan mata kuliah itu. Hackschooling banyak dilakukan oleh para unschooler, salah satu yang direkomendasikan oleh Steve Jobs (pendiri perusahaan Apple). Saat beliau drop out dari kuliahnya, beliau masih beredar dikampus dan melakukan hackschooling.
Contoh Hackschooling yang pernah kejadian di Amrik adalah saat ada anak HS yang cinta mati sama kimia, lalu dia ikut mata kuliah salah satu dosen di sebuah universitas. Dosen itu sangat senang sekali ada anak yang benar2 tertarik dengan mata kuliah yang beliau ajarkan, apalagi kuliahnya juga lancar. Nah, mereka pun berjejaring, dan si HSer itu mendapatkan referensi dari sang dosen utk bekerja disitu.
Kalau saya lihat, hal ini bisa juga kejadian disini. contoh yang “nyaris” bisa terjadi adalah dengan Syabil, anak mba Raken yang masih umur 6 tahun. Karena kecintaannya dengan serangga sedemikian rupa, saat ini dia sudah memulai berjejaring dengan dosen dan mahasiswa dibidang itu, bahkan sudah diundang untuk mengikuti kuliah (hackschooling/menjadi pendengar) di IPB.
anyway,
Lalu, jika kita membaca dari buku atau blog yang ditulis oleh Mas Aar Sumardiono dari rumah inspirasi, tiga jalur pendidikan beliau sampaikan berkaitan dengan
kesiapan seseorang di dunia kerja. Persiapannya bisa melalui jalur akademis, jalur profesionalisme, dan jalur bisnis.
Mas Aar menyampaikan bahwa jika kita memilih jalur akademis, maka disinilah peran sekolah sangat penting, dan ijasah menjadi jalan keluar untuk melamar kerja.
jika memilih jalur profesional, maka kita perlu membangun portofolio dan mencari “pengakuan” melalui sertifikasi
jika jalur bisnis, maka kita berjejaring dan belajar secara otodidak membangun bisnis yang ingin kita lakukan
Seperti yang pernah disampaikan oleh Ken Robinson, dunia pendidikan memang seolah-olah menciptakan “kasta”. orang yang berada di jalur pendidikan formal atau jalur akademis dianggap “kasta paling tinggi” dibanding jalur pendidikan lain.
Yg berada di dalam jalur pendidikan formal pun masih ada kasta, misalnya diantara lulusan D3, S1, S2, S3, masing-masing berada di kastanya sendiri-sendiri. keilmuan dan keahlian yang didapat “hanya” dari workshop, les, pengalaman hidup, seolah tidak berarti apa-apa.
Misalnya orang yang sudah lulus S1 lalu bekerja 20 tahun di sebuah pekerjaan, untuk menjabat satu jabatan tertentu, bisa jadi dia wajib sekolah S2 lagi, meskipun beliau kaya pengalaman dan sering dapat pelatihan yang dibayarkan oleh kantor, tapi tanpa gelar S2 seolah tidak ada artinya.
Nah, peraturan pemerintah tahun 2012 lalu, mencoba untuk menjembatani tiga jalur pendidikan ini, dimana semua jalur menjadi setara dan diakui. keilmuan, keahlian, pengalaman, bisa diraih dimana saja, yang penting kompetensinya sama. Namanya KKNI = Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Peraturannya bisa dibaca disini http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/KKNI/Perpres8-2012KKNI.pdf
Nah, dengan adanya level 1 – 9 ini, menyetaraan bisa dilakukan untuk orang-orang yang mendapatkan keahlian diluar jalur formal dan dari jalur lain tersebut, orang tersebut memiliki kompetensi di level yang ternyata bisa setara dengan orang yang mengambil jalur formal. gambarnya seperti ini:
kalau kita perhatikan digambar, ada 4 jalur yang ditulis disana: pendidikan formal, peningkatan profesionalitas, peningkatan karir di dunia kerja, dan pengalaman pribadi individual atau belajar otodidak. Lalu ditengah-tengah ada garis hubung
Contohnya ada para nelayan yang bisa jadi kemampuan otodidak dan pengalaman hidupnya ternyata setelah diujikan berada di level 6, yang mana setara dengan S1/D4 jurusan Perikanan.
Cara penyetaraannya bagaimana? dengan melakukan uji kompetensi dan mendapatkan sertifikat. Dimana tempat uji kompetensinya?
Nah, saat ini KKNI masih terus digodok, terutama kompetensi-kompetensi level 1-9 dari semua profesi dan standar pengujiannya. Misalnya saja, di Vokasi tempat saya bekerja, tahun ini kami sedang bekerja untuk merombak kurikulum dengan mengikuti level kompetensi dari KKNI ini. Level kompetensi KKNI tentu saja didapat dari ekspektasi dunia kerja (kompetensi kerja). Dan setahu saya, di profesi-profesi lain pun, kurikulum sedang digodok juga untuk bisa memenuhi kebutuhan KKNI ini.
Maksudnya gimana ?
Jadi gini, TERNYATA selama ini antara DIKTI (pendidikan tinggi) dan KEMENAKER (kementerian tenaga kerja) memang berjalan sendiri-sendiri. Maksudnya, DIKTI fokus pada kompetensi lulusan (Lulusan jurusan A harus punya kompetensi A B C D), sedangkan KEMENAKER fokus pada kompetensi kerja (Kalau bekerja di bidang A, maka harus bisa A B C D). akibatnya apa ? akibatnya banyak lulusan universitas yang ternyata ga memenuhi kompetensi kerja (ga siap kerja), akhirnya jadi pengangguran. Nah, melalui KKNI ini, maka pendidikan tinggi sedang merombak kurikulumnya supaya selaras dengan kebutuhan di dunia kerja. KKNI membantu menyelarasan dengan penggunaan level. Artinya pendidikan tinggi bukan lagi urusan “dapat nilai bagus”, tapi “bisa melakukan ini”. Pernah ketemu anak lulusan tertentu yang ternyata ga bisa ngerjain sesuatu yang harusnya bisa padahal nilai di IPKnya bagus? ya, contohnya seperti itu.
Kabar baiknya, KKNI bukan hanya menyelaraskan pendidikan tinggi dengan dunia kerja, tapi juga keahlian dan kemampuan yang didapat di tempat lain, seperti tempat les, kursus, bahkan yang belajar otodidak. ASALKAN saat ikut uji kompetensi dan lalu TERSERTIFIKASI, maka kemampuannya diakui.
Contohnya, kemarin mba Raken sharing, di jogja beliau bertemu dengan mahasiswa jurusan Bahasa Inggris yang suka serangga dari kecil seperti Syabil, tapi gagal masuk UGM, akhirnya ganti jurusan. Anak ini, kalau ngomongin serangga, bahkan mahasiswa2 UGM itu kalah. pokoknya expert banget deh. Naah… dengan KKNI, dan “kalau” ujian kompetensinya sudah jadi, kemampuan anak ini bisa aja setara dengan level-level tertentu yang ternyata setara entah dengan D3 (level 5) atau S1 (level 6), bahkan S2 (level 7).