Tiga Jalur Pendidikan

Tulisan ini merupakan Kulwapp di Grup WA K’Super Muslim, April 2015

Assalammualaikum Wr.Wb,

Selamat malam ibu-ibu K’Super…terima kasih atas kesempatannya untuk membahas 3 jalur pendidikan. Saya juga masih belajar,
jadi kalau nanti ada yang perlu ditambahkan atau dikoreksi, silakan aja ya….

Saya akan mulai dari UU Pendidikan, biar lebih afdol… bisa dilihat disini http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf (UU No. 20 tahun 2003)
ada 3 jalur pendidikan, pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.

Sepertinya disini juga sudah pada mengerti bahwa pendidikan formal biasanya kaitannya dengan sekolah, pendidikan nonformal berkaitan dengan les-lesan,
dan pendidikan informal berkaitan dengan belajar secara otodidak, atau belajar bersama yang dikelola oleh masyarakat secara bersama, misalnya
les tari atau les ngaji di sebuah lingkungan rumah dengan memanggil guru untuk belajar bareng2.

Pendidikan informal, bisa juga dilakukan dengan cara Live-in, mentoring, dan internship. Live-in maksudnya adalah dimana kita tinggal di rumah seorang ahli
yang kita percaya untuk belajar banyak dari beliau. Mentoring, maksudnya tentu saja menjadikan orang tersebut jadi mentor kita, dan internship adalah bentuk
magang diluar pendidikan formal. Sepertinya contoh yang biasa dilakukan di jepang adalah ketika seseorang ingin menjadi mangaka (penulis komik), lalu
dia mendatangi salah satu komikus yang dia kagumi, dan meminta beliau menjadi mentor. Lalu orang itu pun tinggal bersama (live in), menjadi asisten (internship)
tanpa dibayar. Sepertinya urusan live-in ini nanti bisa dijelaskan Mba Wulan dengan lebih seksama 🙂

Pendidikan informal, bisa juga didapat dengan cara “hackschooling”. yang dimaksud dengan hackschooling adalah jika ada seseorang yang kuliah “gelap” di sebuah tempat pendidikan tinggi dengan seizin dosennya. Nanti, setelah lulus dari mata kuliah tersebut, mendapatkan referensi dari si dosen kalau orang tersebut pernah mengambil kuliah tersebut, atau bahkan memberikan referensi ke dunia kerja saat si orang tersebut melamar pekerjaan yang berhubungan dengan mata kuliah itu. Hackschooling banyak dilakukan oleh para unschooler, salah satu yang direkomendasikan oleh Steve Jobs (pendiri perusahaan Apple). Saat beliau drop out dari kuliahnya, beliau masih beredar dikampus dan melakukan hackschooling.

Contoh Hackschooling yang pernah kejadian di Amrik adalah saat ada anak HS yang cinta mati sama kimia, lalu dia ikut mata kuliah salah satu dosen di sebuah universitas. Dosen itu sangat senang sekali ada anak yang benar2 tertarik dengan mata kuliah yang beliau ajarkan, apalagi kuliahnya juga lancar. Nah, mereka pun berjejaring, dan si HSer itu mendapatkan referensi dari sang dosen utk bekerja disitu.

Kalau saya lihat, hal ini bisa juga kejadian disini. contoh yang “nyaris” bisa terjadi adalah dengan Syabil, anak mba Raken yang masih umur 6 tahun. Karena kecintaannya dengan serangga sedemikian rupa, saat ini dia sudah memulai berjejaring dengan dosen dan mahasiswa dibidang itu, bahkan sudah diundang untuk mengikuti kuliah (hackschooling/menjadi pendengar) di IPB.

anyway,
Lalu, jika kita membaca dari buku atau blog yang ditulis oleh Mas Aar Sumardiono dari rumah inspirasi, tiga jalur pendidikan beliau sampaikan berkaitan dengan
kesiapan seseorang di dunia kerja. Persiapannya bisa melalui jalur akademis, jalur profesionalisme, dan jalur bisnis.

Mas Aar menyampaikan bahwa jika kita memilih jalur akademis, maka disinilah peran sekolah sangat penting, dan ijasah menjadi jalan keluar untuk melamar kerja.

jika memilih jalur profesional, maka kita perlu membangun portofolio dan mencari “pengakuan” melalui sertifikasi

jika jalur bisnis, maka kita berjejaring dan belajar secara otodidak membangun bisnis yang ingin kita lakukan

Seperti yang pernah disampaikan oleh Ken Robinson, dunia pendidikan memang seolah-olah menciptakan “kasta”. orang yang berada di jalur pendidikan formal atau jalur akademis dianggap “kasta paling tinggi” dibanding jalur pendidikan lain.

Yg berada di dalam jalur pendidikan formal pun masih ada kasta, misalnya diantara lulusan D3, S1, S2, S3, masing-masing berada di kastanya sendiri-sendiri. keilmuan dan keahlian yang didapat “hanya” dari workshop, les, pengalaman hidup, seolah tidak berarti apa-apa.

Misalnya orang yang sudah lulus S1 lalu bekerja 20 tahun di sebuah pekerjaan, untuk menjabat satu jabatan tertentu, bisa jadi dia wajib sekolah S2 lagi, meskipun beliau kaya pengalaman dan sering dapat pelatihan yang dibayarkan oleh kantor, tapi tanpa gelar S2 seolah tidak ada artinya.

Nah, peraturan pemerintah tahun 2012 lalu, mencoba untuk menjembatani tiga jalur pendidikan ini, dimana semua jalur menjadi setara dan diakui. keilmuan, keahlian, pengalaman, bisa diraih dimana saja, yang penting kompetensinya sama. Namanya KKNI = Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Peraturannya bisa dibaca disini http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/KKNI/Perpres8-2012KKNI.pdf

KKNI menggunakan Level 1 – 9, Level tersebut menjelaskan kompetensi-kompetensi yang mesti dimiliki oleh seseorang, di jalur manapun dia berada. Contohnya, Anak lulusan SMA itu kompetensinya dianggap setara dengan level 2, D1 level 3, D2 level 4, D3 level 5, S1 level 6, dan seterusnya.

Nah, dengan adanya level 1 – 9 ini, menyetaraan bisa dilakukan untuk orang-orang yang mendapatkan keahlian diluar jalur formal dan dari  jalur lain tersebut, orang tersebut memiliki kompetensi di level yang ternyata bisa setara dengan orang yang mengambil jalur formal. gambarnya seperti ini:

pekerti-kkni.png

 

kalau kita perhatikan digambar, ada 4 jalur yang ditulis disana: pendidikan formal, peningkatan profesionalitas, peningkatan karir di dunia kerja, dan pengalaman pribadi individual atau belajar otodidak. Lalu ditengah-tengah ada garis hubung

Contohnya ada para nelayan yang bisa jadi kemampuan otodidak dan pengalaman hidupnya ternyata setelah diujikan berada di level 6, yang mana setara dengan S1/D4  jurusan Perikanan.

Cara penyetaraannya bagaimana? dengan melakukan uji kompetensi dan mendapatkan sertifikat. Dimana tempat uji kompetensinya?

Nah, saat ini KKNI masih terus digodok, terutama kompetensi-kompetensi level 1-9 dari semua profesi dan standar pengujiannya. Misalnya saja, di Vokasi tempat saya bekerja, tahun ini kami sedang bekerja untuk merombak kurikulum dengan mengikuti level kompetensi dari KKNI ini. Level kompetensi KKNI tentu saja didapat dari ekspektasi dunia kerja (kompetensi kerja). Dan setahu saya, di profesi-profesi lain pun, kurikulum sedang digodok juga untuk bisa memenuhi kebutuhan KKNI ini.

Maksudnya gimana ?

Jadi gini, TERNYATA selama ini antara DIKTI (pendidikan tinggi) dan KEMENAKER (kementerian tenaga kerja) memang berjalan sendiri-sendiri. Maksudnya, DIKTI fokus pada kompetensi lulusan (Lulusan jurusan A harus punya kompetensi A B C D), sedangkan KEMENAKER fokus pada kompetensi kerja (Kalau bekerja di bidang A, maka harus bisa A B C D). akibatnya apa ? akibatnya banyak lulusan universitas yang ternyata ga memenuhi kompetensi kerja (ga siap kerja), akhirnya jadi pengangguran. Nah, melalui KKNI ini, maka pendidikan tinggi sedang merombak kurikulumnya supaya selaras dengan kebutuhan di dunia kerja.  KKNI membantu menyelarasan dengan penggunaan level. Artinya pendidikan tinggi bukan lagi urusan “dapat nilai bagus”, tapi “bisa melakukan ini”. Pernah ketemu anak lulusan tertentu yang ternyata ga bisa ngerjain sesuatu yang harusnya bisa padahal nilai di IPKnya bagus? ya, contohnya seperti itu.

Kabar baiknya, KKNI bukan hanya menyelaraskan pendidikan tinggi dengan dunia kerja, tapi juga keahlian dan kemampuan yang didapat di tempat lain, seperti tempat les, kursus, bahkan yang belajar otodidak. ASALKAN saat ikut uji kompetensi dan lalu TERSERTIFIKASI, maka kemampuannya diakui.

Contohnya, kemarin mba Raken sharing, di jogja beliau bertemu dengan mahasiswa jurusan Bahasa Inggris yang suka serangga dari kecil seperti Syabil, tapi gagal masuk UGM, akhirnya ganti jurusan. Anak ini, kalau ngomongin serangga, bahkan mahasiswa2 UGM itu kalah. pokoknya expert banget deh. Naah… dengan KKNI, dan “kalau” ujian kompetensinya sudah jadi, kemampuan anak ini bisa aja setara dengan level-level tertentu yang ternyata setara entah dengan D3 (level 5) atau S1 (level 6), bahkan S2 (level 7).

Yang Paling penting dalam memulai HS

Tulisan dibawah ini merupakan Kulwapp di Grup WhatsApp HSKM Bogor 15 Januari 2015

 

Saya coba untuk merenungkan apa ya yang bener-bener penting dalam memulai HS, ternyata yang terpenting itu cuma ada dua…

Yang pertama,

saya rasa memang pada intinya adalah harus selesai dulu FAITH alias keyakinan atas jalan yang kita pilih. Kita memang harus yakin.

Galau itu biasa. Mungkin saja, kita akan mengalami Galau tiada akhir. Galau tak berujung. Tapi galau biasanya saat kita bicara teknis. Saat kita bicara masa depan. kalau kita masih galau di level keyakinan, memang jalan ini akan sangat sangat sangat terasa sungguh sulit untuk dijalani.

Kalau mau jujur, Emak-emak itu emang “tugas”nya galau. ehehe. Galau tiada akhir. Dikit-dikit galau. Anak kenapa dikit cemas. Anak begini dikit galau. ya emang gitu jadi ortu, terutama emak. Tapi, tetap pada level FAITH, kita harus benar-benar yakin.

Jadi disini, mba-mba apakah sudah yakin akan jalan yang dipilih? kadang memang ketika ada dua jalan, tiba-tiba salah satu jalan yang lain (sekolah) bukan lagi pilihan, ga sanggup rasanya sekolahin anak (misalnya niiiih), mau ga mau kita harus homeschool. Jadi gimana? ya kalau memang tidak ada pilihan lain, kembali ke Allah. Minta dimantapkan. Terus berdoa.

Setiap jalan pasti ada kerikilnya. kalau kita sudah punya FAITH, kerikil itu ya hanya pemanis jalan saja. maju terus pantang mundur.

Dulu, saat saya masih galau pada level FAITH, saya timbang-timbang, jika nanti Atala sekolah, sepertinya saya ga akan berhenti galau dan cemas. Tapi kecemasan2 yang terjadi gara2 sekolah, saya tidak punya terlalu banyak kuasa untuk berbuat sesuatu. Setidaknya, dengan homeschool, kendali ada pada saya. Ini salah satu bagaimana saya bisa lebih yakin di jalan homeschool daripada sekolah.

Jadi mba-mba, coba beresin lagi FAITHnya. apakah memang ini jalan yang ingin ditempuh? Jangan diberesin sendirian, ajak2 Allah ya. hehehe.

Yang kedua,

Fokus pada yang paling utama dalam memulai homeschool. kira-kira apa?

kurikulum?

metode belajar?

jadwal belajar?

Bukan.

Yang paling utama, adalah hubungan kita dengan anak (dan juga pasangan). Kenali mereka, benar-benar saling mengenal, fahami perasaannya… Perbaiki komunikasi dengan anak (dan pasangan), terus bangun hubungan yang baik (mutual respect), jangan pernah berhenti, karena ini terus menerus sepanjang hayat.

Soalnya, hal yang paling penting dalam homeschool adalah, baik emak maupun anak, sama-sama betah berkegiatan bersama-sama. Ya anak. Ya emak. Harus sama-sama seneng. Ga dikit-dikit mutung kalau kelamaan bareng. Ga dikit-dikit gerah. Ortu HS tuh ga bisa kayak orangtua sekolah yang diam-diam dalam hati mengecek jadwal dan berkata, “alhamdulillah, akhirnya libur tinggal 3 hari lagi, bentar lagi mereka sekolah”. Ga bisa begitu.

Eh bisa juga sih sekali-sekali break pas mereka udah mulai bisa nginep di rumah nenek atau temennya sendiri tanpa ditemani… kalau udah bisa, boleh deh tuh kita masukkin dalam jadwal belajar “sosialisasi” dan “kemandirian”, sekali mendayung, satu dua pulau terlampaui… anak2 belajar sosialisasi dan mandiri, emak bisa istirahat…yaaay… wkwkwkwk 😀

Anyway, hubungan dan komunikasi yang baik, juga akhirnya menciptakan “mutual respect”, nah mutual respect ini sebenarnya modal kita. bagaimana saat belajar bersama jadi nyaman dan seru. Caranya gimana? ya, banyakkin main bareng, banyakkin ngobrol bareng. itu doang kayaknya deh. hehe.

Kalau langsung terjun ambil buku pelajaran, lalu belajar bareng…apalagi langsung ada target segala anak harus bisa ini itu… saya jamin deh… pasti stres… hehehe.

jadi, pacaran dulu ya sama anak…. main dan ngobrol bareng yang banyaaakkk

 

Pengelolaan Waktu Luang Anak Homeschooling

01 Agustus 2012

Sepertinya, orangtua selalu menyimpan rasa cemas kalau anak punya waktu yang terlewati dengan “ga ngapa2in”. Apalagi, dengan adanya jargon “Golden Age lima tahun pertama” yang diterjemahkan dengan : HARUS diisi dengan kegiatan bermakna, mumpung perkembangan otaknya sedang bagus2nya.

Untuk itu, pengelolaan waktu luang utk anak cenderung dimaknai dengan jam sekolah yang semakin panjang, aneka les ini itu, dan juga tugas dan pekerjaan rumah dari sekolah untuk anak-anak. Sehingga waktu anak bisa dihabiskan dgn lebih “efektif”.

Nah, dalam dunia homeschool, dengan pemahaman bahwa kegiatan akademik alias belajar mengajar (teaching time/formal instruction) hanyalah 0-2 jam sehari, artinya anak homeschool memiliki waktu luang yang luar biasa banyaknya. Meski waktu luang ini diartikan sebagai “learning opportunities”, kesempatan to learn (belajar), bukan to study (belajar akademik), namun dari sinilah kemudian orangtua HS mungkin mulai galau. Apa yang harus diisi dengan waktu luang anak2?

Saya akan mencoba mengutip dan mengadaptasi “Moore Formula” milik Raymond Moore, dengan harapan lebih mudah penjabarannya. Tentu saja penjelasannya menjadi murni interpretasi saya pribadi. Bagi yang ingin tahu lebih banyak lagi tentang Moore Formula, silakan gugling ya.

Menurut Kakek Moore ini, ada 3 hal yang cukup essensial bagi anak-anak dalam memanfaatkan waktu mereka, yaitu: Study, Work, dan Service.

 

STUDY

Study, saya terjemahkan bebas dengan belajar formal alias akademik. Dalam hal ini, Kakek Moore menyarankan untuk tidak melakukannya sebelum anak-anak siap, semaksimal-maksimalnya usia 8 tahun hingga 12 tahun. Kakek Moore juga menggarisbawahi bahwa mungkin Anak laki-laki akan butuh waktu lebih lama dari anak perempuan untuk menerima belajar formal.

Banyak orang,termasuk saya, yang terkejut melihat usia yang diajukan oleh Kakek Moore untuk memulai belajar formal. Meskipun jargon yang dipopulerkan Kakek Moore adalah “Better Late Than Early (BLTE)” alias “Lebih Baik Terlambat daripada Terlalu Dini”, tapi tentu saja kita pun menjadi ragu. memangnya tidak terlalu telat tuh ya nunggu sampe usia 8thn, bahkan 12thn?

Saya memulai memahaminya ketika mendefinisikan “belajar formal” dengan “mengisi/memberikan informasi/materi belajar sebanyak2nya” ke anak. Belajar formal, cenderung berarti ada kurikulum yang harus diikuti dan target materi yang perlu disampaikan. Fokusnya menjadi pada “materi” dan “target kemampuan” ketimbang pada “anak” itu sendiri.

Nah, lalu, ketika kita menerapkan BLTE alias “menahan diri” untuk tidak “mengisi” anak, kita harus bagaimana?

Mas Aar dan Mba Lala, dalam situs mereka rumahinspirasi.com senantiasa mengulang-ulang asal kata “education” itu dari “edu-care” yang berarti “mengeluarkan”. Mereka selalu berulang kali menggarisbawahi kalau yang penting adalah mengeluarkan potensi anak, memberi anak kesempatan utk mengekspresikan diri dan mengeksplorasi kemampuan mereka.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “menunda belajar formal” dalam BLTE adalah menunda kejar target penyampaian materi dan kemampuan ala sekolahan, dan fokus pada perkembangan anak secara individu dan customised.

Menariknya, “alat bantu” yang dipakai belajar formal VS BLTE mungkin saja sama, tapi dengan tujuan yg berbeda. Misalnya, saat anak balita menggunakan gunting, krayon, dan kertas. Pada belajar formal, ada tujuan materi yg harus dicapai. Dalam hal ini, bisa jadi yg jd fokus adalah bagaimana supaya “hasil akhirnya” keliatan cakep dan lucu atau selesai “pada waktu yg sdh ditentukan”. Pada praktiknya, mungkin saja anak jadi banyak dibantu. Dalam BLTE, tujuannya bisa jadi adalah sebagai sarana anak mengekspresikan diri dan mengutarakan isi pikiran. Maka, hasil akhir yang diharapkan adalah “originalitas”.

Dalam hal memberikan kesempatan utk anak eksplorasi kemampuan diri adalah bisa juga dengan hal mengikutsertakan Les-les/kursus-kursus non-akademik yang menjadi minat anak, maupun yang “dipilihkan/dicoba” orangtua dgn harapan “mungkin saja” anak menyukainya (berminat) atau ada bakat. Pemilihan kursus ini tentu saja disesuaikan dengan bujet keluarga masing-masing.

Saat telah menerapkan BLTE, kita akan mendapati akan ada subyek-subyek tertentu yang menjadi fokus anak, dan anak punya kesempatan utk mengetahuinya lebih jauh sehingga lebih “advance” dari “benchmark” yang ditetapkan kurikulum belajar formal. Sebaliknya, ada juga subyek2 yang ternyata bisa dikategorikan sebagai “delay/terlambat” krn blm dikuasai spt waktu yg ditetapkan oleh kurikulum belajar formal.

Dan ketika masanya “belajar formal” itu tiba, yaitu usia 8-12thn, anak-anak BLTE sudah memperlihatkan bidang-bidang tertentu yang menjadi fokus mereka,sehingga pemberian materi pun bisa difokuskan dan disesuaikan dengan minat, bakat, dan kemampuan mereka.

Sekolah sudah membuktikan, bahwa memberikan semua materi yang banyak ke anak-anak adalah tidak realistis, dan anak-anak hanya mendapatkan semua pelajaran dangkal-dangkal saja, serta justru mematikan “api semangat belajar” mereka. Lalu kita sebagai homeschooler, untuk apa mengulangi kesalahan yang sama?

WORK

Work, atau bekerja, saya terjemahkan bebas dengan memanfaatkan waktu luang dengan bekerja part-time, magang, internship, dan tidak lupa, entreupreneurship.

Dengan waktu luang yang luar biasa banyak, anak-anak sudah bisa memulai belajar mencari uang sendiri “kecil2an” atau belajar keahlian tertentu dengan magang ditempat yang menjadi minatnya.

Beberapa waktu lalu, saya mendapat tips yang luar biasa bermanfaatnya dari Mba Septi Peni, founder JariMatika. Mba Septi berkata, bahwa tempat magang pertama anak hendaklah magang pada orangtuanya. Orangtua hendaknya memperkenalkan dan melibatkan profesinya, keahliannya, kemampuannya, dan kebiasaannya pada anak2nya, sebelum anaknya dilepas untuk magang ditempat lain. Termasuk tentu saja hobi dan passion sang orangtua.

Contohnya saja adalah 4 anak mba Vanda yang belajar program komputer dari ayahnya yang seorang programmer, Yudhis dan Tata, anak Mba Lala yang bisa musik, fotoshop, dan crafting, karena belajar dari Ayah Ibunya, Husayn yang semangat entreprenuershipnya tinggi karena kedua orangtuanya pedagang.

Masa depan anak-anak homeschool tentu saja belum tentu sama dengan kedua orangtuanya, tapi mentransfer ilmu dan kemampuan sebagai bagian dari pengalaman dan “resume” kerja magang pertama anak-anak, kenapa tidak?

Dengan melibatkan anak-anak dalam pekerjaan orangtua, orangtua dan anak juga punya waktu bersama yang lebih lama dan lebih bermakna.

Lalu, bagaimana dengan kerja magang ditempat lainnya? Dengan adanya waktu luang yang banyak ini, sebenarnya juga berarti mempunyai waktu dan kesempatan yg panjang bagi orangtua untuk memulai melebarkan jaringan (networking). Anak yang dari awal diberi kesempatan untuk bereksplorasi dan mengeluarkan potensi diri, akan punya fokus dan kesempatan lebih besar dalam hal mencari pengalaman magang di dunia kerja.

SERVICE

Service, atau Pelayanan, saya terjemahkan sebagai terlibat dengan kegiatan2 yang sifatnya non-profit, atau ‘pengabdian masyarakat”. Kakek Moore percaya, service selain mengasah hati anak, membangun karakter, juga akan jadi pengalaman hidup yang berharga.

Contoh kegiatan yang bisa dilakukan beraneka ragam. Yang pertama, mungkin adalah ikutan kegiatan2 komunitas yang sekarang cukup menggeliat. Kalau dulu kita punya karang taruna, remaja masjid/gereja, sekarang kita ada komunitas historia, sahabat museum, komunitas berkebun, dan lain sebagainya.

Yang kedua, bisa jadi terlibat menjadi sukarelawan pada event-event tertentu, misalnya acara bakti sosial atau kegiatan lain yang sifatnya berbagi dengan orang lain. Atau bahkan menjadi relawan pada suatu tempat sosial yang sifatnya kontinu.

Yang ketiga, keluarga atau anak itu sendiri bisa saja membangun kegiatan atau proyek sendiri yang melibatkan anak-anak lain dan bersifat nonprofit.

Demikianlah kegiatan pengisi waktu luang yang bisa dilakukan oleh anak-anak diluar jam belajar akademik mereka. Formal studying (belajar formal) mungkin memang tidak perlu banyak-banyak. Tapi learning opportunities (kesempatan belajar) selalu ada dimana-mana. Tinggal kita bergerak meraihnya. Let’s grab the moment!! ^_^

Membuat Jadwal dalam Homeschooling

31 Desember 2011

“When you teach less, the children will learn more” – John Holt

Pendahuluan

Saya mengenal homeschooling tahun 2006, saat anak saya, Atala, masih berusia 18 bulan. Perkenalan dengan jargon Better Late Than Early dari Raymond Moore, mempengaruhi keputusan saya untuk menunda sekolah Atala, yaitu tidak masuk preschool dan TK. Saya pribadi setuju dengan pendapat bahwa meski banyak preschool dan TK yang keliatannya santai, “tidak berat”, dan hanya “main-main” saja, tapi tidak punya “otoritas yang lebih tinggi” di usia dini untuk mendikte Atala melakukan sesuatu itu cukup penting sebagai pondasi menumbuhkan rasa percaya diri (self-confidence) dan membentuk paradigma (mindset) baik ke kami, orangtuanya, maupun ke Atala sendiri, bahwa dia, bisa belajar otodidak tentang apapun sejak dini. Perkenalan dengan unschooling juga mengajariku bahwa yang terpenting di usia dini justru menumbuhkan rasa nyaman dan betah tinggal dirumah (dengan tidak keluar rumah terlalu dini) dan memberi kesempatan lebih panjang untuk saling mengenal (get connected) dengan anggota keluarga sendiri. Saya mempercayai pendapat yang bilang, setelah itu, kebutuhan ke luar rumah akan tumbuh secara alami dan dengan sendirinya, datang dari anak itu sendiri, dimana kapan kebutuhan tersebut muncul, akan bervariasi tiap anak.

Keputusan ini, 5 tahun kemudian, ternyata merupakan keputusan berharga, karena saya menjadi “saksi mata” bagaimana Atala mampu “mengupgrade” diri tanpa ada “yang mengajari”. Atala, telah membuktikan sendiri setiap kata dari John Holt mengenai kemampuan anak untuk self-taught (mengajari diri sendiri) dan Self-Learning dengan minimal intervensi. Dimulai dari bisa membaca dengan sendirinya di usia 4 tahun, hingga detik ini, Atala terus membuktikan diri bahwa anak-anak bukanlah wadah kosong yang perlu diisi, tapi lebih mirip dibilang seperti spons yang menyerap sekelilingnya secara alami tanpa perlu “susah payah”.

Meski demikian, memasuki tahun 2012 ini, menjelang Atala memasuki 7 tahun (usia sekolah), rupanya “minimal intervensi” dari saya sebagai orangtua, menumbuhkan rasa gelisah dan galau, karena merasa “tidak ngapa-ngapain”, meski sudah jelas catatan belajar (portofolio) Atala sudah membuktikan bahwa dirinya terus belajar tanpa ada halangan, dan kemampuannya terus keliatan berkembang. Suami saya bahkan secara implisit juga mengungkapkan kegalauan yang sama, karena saya tidak keliatan “berbuat apa-apa” untuk Atala.

Obrolan dan diskusi dengan para Ibu muda yang memiliki anak dengan rentang usia sama dengan anak saya (4-9 tahun) ternyata kurang lebih sama. Paradigma kalau Anak tidak keliatan “terpaksa” dan “stress” berarti tidak belajar, ternyata tetap menghantui. Paradigma kalau “guru” (dalam hal ini orangtua) harus melakukan persiapan belajar seperti lesson plan, materi belajar, kurikulum, dan jadwal belajar, supaya keliatan “serius mengajar”, terus membayangi. Terutama kalau ada teman, keluarga, dan pihak luar mulai bertanya-tanya (beneran ingin tahu karena tertarik, bukan sekedar nanya), tentang jadwal belajar anak-anak homeschool.

Melalui note ini, saya ingin berbagi hasil “riset” saya tentang jadwal belajar anak-anak homeschool. Harapan saya, teman-teman yang membaca note ini bisa langsung mengklik link-link dibawah untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik.

Berapa jam sehari?

Secara otomatis, orangtua yang merencanakan homeschooling pertama kali akan mencoba untuk mengadaptasi jadwal belajar di sekolah ke rumahnya, karena hanya itulah kita tahu bagaimana seharusnya “belajar” itu. Orangtua lain akan membayangkan belajar dirumah akan mirip-mirip seperti les privat yang biasanya dilakukan dirumah saat anaknya pulang sekolah.

Yang perlu diingat oleh orangtua, jadwal belajar di sekolah sebenarnya adalah persoalan “crowd-control”. Dengan ratusan siswa dan puluhan guru, pihak manajemen tentu perlu membuat sebuah jadwal stabil dan tidak mudah digoyahkan (baca: tidak fleksibel). Yang perlu diingat lagi, 1 jam di kelas adalah waktu yang lalu perlu dibagi oleh seorang guru dengan siswa yang berjumlah 25 – 40 anak.

Rumus yang pernah saya dapat, 1 jam (bahkan ada yang bilang 2 jam) disekolah itu sama dengan 15 menit dirumah, dengan demikian waktu yang diperlukan orangtua hanyalah 1/4 dari waktu yang diperlukan disekolah. Artinya, 6-8 jam waktu belajar yang dihabiskan di sekolah, ternyata dengan perlakuan one-on-one attettion (satu guru dengan 1-5 anak), hanyalah membutuhkan 1.5 – 2 jam dirumah. Dimana rumus itu didapat? sederhananya, hanya dengan membandingkan dengan pembagian perhatian guru di kelas tersebut yang berusaha mengajari 25 – 40 siswa itu.

Dalam artikel “can a one hour homeschool be effective?”, kita perlu dulu membedakan antara “formal teaching” dan “learning opportunities”. Definisi 1 jam jadwal homeschooling = 1 jam instruksi formal (formal instruction), dimana orangtua “memberi tugas” kepada anak-anaknya. Sedangkan kesempatan belajar (learning opportunities) anak lebih luas dan tidak bisa di”batasi” oleh waktu, melalui field trip, proyek bersama, bermain games, bersosialisasi, dan lain sebagainya.

Untuk itu, saya berkesimpulan bahwa dengan banyaknya metode homeschooling yang berbeda-beda, rupanya yang membedakan adalah bagaimana menyikapi “formal teaching/instruction” tersebut dengan orangtua yang menggunakan unschooling, akan menghilangkan “formal teaching” sama sekali dan orangtua dengan metode school-at-home akan memanfaatkan kesempatan “formal teaching” tersebut dengan menggunakan kurikulum yang dipakai sekolah.

Kesimpulan yang lain, “formal teaching” dalam homeschooling itu memerlukan waktu 15 menit hingga maksimal 2 jam setiap harinya. Hal ini pun rupanya bukan untuk memastikan anak-anak “belajar”, tapi untuk memastikan “ketenangan hati” sang orangtua.

Membagi waktu belajar

Lalu bagaimana membagi waktu belajar tersebut?? Dalam artikel “Homeschool Hours per-Grade”, instruksi formal ini dimulai dari 15 menit/hari untuk TK dan perlahan-lahan meningkat terus hingga 2 jam/hari saat memasuki SMA. Artikel lain memberikan tips untuk membagi waktu per-pelajaran saja sesuai kebutuhan dan karakter anak. Misalnya, 1 jam dalam sehari bisa dibagi menjadi 15 menit per-mata pelajaran (4 mata pelajaran sehari), 30 menit per-mata pelajaran (2 mata pelajaran sehari), atau 1 mata pelajaran perhari.

Mbak Ekawati sendiri yang mempunyai anak usia pra-remaja (11-13 tahun) pernah sharing ke saya kalau mata pelajaran logikanya akan semakin sulit dipelajari ketika memasuki kelas III SD ke atas, sehingga mungkin saja anak memerlukan “pendampingan” lebih banyak. Namun demikian, dilain fihak, ternyata pengalaman Mbak Eka menunjukkan bahwa semakin anaknya besar, waktu untuk “instruksi formal” dan “pendampingan” ternyata bukannya makin meningkat (seperti yang ditulis di artikel diatas), malah semakin menurun. Hal ini tentu saja karena anak semakin bisa pintar melihat “learning opportunities” sebagai jalan meng-upgrade diri, plus ditambah dengan “tombol belajar mandiri” anak-anak yang sudah autopilot, sudah berjalan dengan sendirinya, sehingga peran orangtua untuk “mewajibkan” anak belajar malah semakin sedikit, karena “tombolnya” sudah jalan sendiri.

Kesimpulannya, “formal teaching” dalam kenyataannya bisa semakin meningkat dengan maksimal 2 jam/hari, atau bahkan semakin hilang sama sekali, tergantung tingkat self-learner dari anak tersebut.

Subyek (mata pelajaran) yang perlu di”instruksi”kan

Subyek apa yang perlu diajarkan ke anak 15 menit-1 jam per-hari itu? Matt James, seorang dokter, homeschool 4 anak dan penulis buku “homeschooling odyssey” memberi tips untuk memberikan subyek yang kira-kira tidak bisa dikuasai anak secara alami. Misalnya, grammar, spelling, dan aritmatika. Perlu diingat, yang kira-kira tidak bisa “dikuasai” anak dengan sendirinya tentu berbeda-beda. Misalnya, Ada anak yang bisa belajar matematika dengan sendirinya, ada anak yang perlu bantuan.

Bagaimana dengan agama? Jika memperlakukan agama sebagai “bagian dari keseharian” sepertinya yang pernah ditulis Pak Yudi Arianto dalam note-nya, maka “pelajaran agama” tidak perlu dimasukkan dalam “subyek” yang perlu diajarkan ke anak sebagai “formal instruction”. Keluarga lain mungkin perlu memasukkannya kedalam setiap subyek yang lain, sehingga jadi satu kesatuan. Mengenai hafalan alquran, misalnya sharing lain dari Mbak Ratu Vanda, hafalan al-quran dilakukan 10-15 menit sehari selesai solat magrib dengan cara menyenangkan ternyata cukup efektif.

Yang perlu jadi catatan adalah, anak belajar sebagaimana orang dewasa belajar, diantaranya yaitu, untuk meng-upgrade diri, memahami bagaimana dunia bekerja, untuk mengenal Tuhannya dan lingkungannya lebih baik. Belajar disini bukanlah belajar untuk menghadapi ujian/tes.

Waktu yang tersisa

Dengan menganggap “formal teaching” hanya memerlukan 15 menit hingga 2 jam sehari, lalu, seharian itu anak ngapain aja ya??

Banyak orangtua yang selalu kuatir jika anak punya “waktu luang” yang “tersia-siakan”. Bagi anak yang suka kegiatan aktif, akan dianggap senangnya “main melulu”, sedangkan anak yang suka kegiatan pasif, akan dianggap senangnya “malas-malasan”.Di lain pihak, orangtua lain mungkin ada rasa kuatir anak akan merasa bosan.

Yang perlu diingat adalah, “membebaskan” anak untuk punya waktu luang artinya memberi kesempatan mereka untuk mengetahui dirinya sendiri, untuk punya pemikiran sendiri, dan untuk belajar melawan rasa bosan dengan punya kreativitas dan inovasi dari dirinya sendiri. Selain itu, mempunyai waktu “sendiri untuk diri sendiri” adalah skill yang sangat berguna bagi anak juga.

Tips berikut ini adalah dari Matt James yang saya kembangkan sedikit untuk membuat “waktu luang” menjadi lebih menarik adalah sebagai berikut:

1) Membangun dan membentuk lingkungan rumah yang menarik untuk di eksplorasi, tergantung dari keputusan keluarga.

Satu keluarga akan membangun perpustakaan keluarga dan memenuhi dengan koleksi-koleksi menarik, sementara yang lain akan merasa cukup dengan googling di internet. Satu keluarga memutuskan mematikan TV, sementara keluarga lain berlangganan TV kabel sebagai investasi. Satu keluarga memutuskan menggunakan gadget seperti komputer, iPad, playstation, dan lain sebagainya sebagai bagian dari keseharian belajar, sedangkan keluarga lain memutuskan untuk menunda mengenalkan anak ke gadget sampe waktu tertentu.

2) Menghindari praktik-praktik yang akan membuat anak jadi enggan membaca.

3) Dilibatkan dalam urusan rumah tangga (household chores) sebagai bagian dari lifeskill, seperti memasak, membersihkan rumah, dan lain sebagainya.

4) Merencanakan kegiatan keluarga bersama dan field trip secara reguler sebagai bagian dari keseharian belajar

5) Terlibat dalam kegiatan di lingkungan rumah, sebagai bagian dari volunteering/kerja sosial

6) Mendaftar ke kursus/les yang berhubungan dengan hobi dan kesukaan anak.

7) Merencanakan play dates (kencan bermain) dengan sesama Homeschooler

Cara Memulai

Lalu, setelah tahu jadwal belajar ini, trus mulainya darimana? Seperti yang kita sudah baca diatas, waktu instruksi formal adalah 15 menit sehari yang lalu bisa terus dinaikkan sampai dengan 2 jam sehari (usia SMA). “Instruksi formal” ini tentu saja juga bisa diartikan “belajar bersama orangtua”.

Saran yang bisa diberikan adalah mulai dengan membangun kebiasaan membaca buku bersama sebelum tidur selama 15 menit, lalu biarkan anak-anak bermain atau melakukan hal yang mereka sukai sepanjang hari. Setiap orangtua biasanya sudah melakukan ini, bahkan saat anaknya masih bayi atau saat anaknya masih sekolah. Yang membedakan adalah, lihat perkembangannya bagaimana mereka menyerap buku-buku yang mereka baca malam sebelumnya dan mengembangkannya dalam kegiatan mereka sehari-hari.

Dari kegiatan 15 menit setiap malamnya ini, orangtua bisa lalu mulai mengembangkan lagi sedikit demi sedikit, sehingga jadwal bisa terbentuk dengan sendirinya.

Demikianlah kesimpulan saya saat ini. Karena tentunya masih banyak banget yang belum saya cover dan kekurangan disana sini, mohon masukan dan tambahan dari teman-teman sekalian, supaya kita bisa revisi dan update sama-sama. Terima kasih juga buat teman-teman senior yang namanya saya sebut diatas.

Happy homeschooling!! ^_^
Link Referensi dan Bacaan Lebih Lanjut:
Can One Hour Homeschool be effective?
One-Hour-A-Day Homeschooling
Homeschool Schedules: Education in an Hour
Example Homeschool Weekly Schedule
Homeschool Hours per-Grade
Sample Homeschool Schedule
How to begin Homeschooling
How Long Does it Take to Homeschool?

Choosing Home School Curriculum: Knowing How To Evaluate Your Child’s Learning Can Help You Choose

7 Tips menghadapi minggu pertama homeschooling

Minggu pertama sekolah sepertinya juga ditandai menjadi minggu pertama homeschooling bagi keluarga yang baru pertama kali HS, lalu kemudian bertanya2, mulai darimana ya? Mungkin #tipsHS berikut ini bisa bermanfaat, khususnya untuk ortu yang anak2nya berusia 9thn kebawah.

#1 TIPS YANG PERLU DILAKUKAN DI RUMAH PERTAMA KALI

1A. Mulailah dari membacakan buku, lalu ada follow up activity yang masih berkaitan dengan buku. Bentuknya bisa anak bercerita kembali, diskusi bersama, menggambar, art & craft, sampai percobaan sains.

Baca buku bisa juga diganti dengan nonton bareng, main bareng, main game bareng, dan lain2. Pokoknya bareng2 lha.

1B. Mungkin perlu diingat, tujuan utama kegiatan baiknya untuk mempererat hubungan dengan anak, membangun komunikasi, dan kebersamaan keluarga.

1C. Yang jelas, orangtua bukan guru, tapi fasilitator, kegiatannya bukan mengajari tapi belajar bersama.

Sambil memulai, mungkin mulai deh brainstorming tentang pendidikan dan visi misi keluarga kali ya? Sekalian emak bapaknya deschooling (membongkar paradigma tentang pendidikan)..

Gimana urusan kurikulum, jadwal belajar, dan lain2… ?? Idealnya sih setelah 3 diatas sudah jalan, nanti jadwal akan terbentuk sendiri, kebutuhan kurikulum (atau tidak butuh?) akan muncul sendiri…

#2 TIPS MENGHADAPI TANTANGAN MINGGU PERTAMA

Biasanya nih ya… semangat di minggu pertama homeschooling, langsung diterpa tantangan. Idealisme kita tentang homeschooling harus berhadapan dengan realita. contohnya, curhatan macam ini:

“Anakku maunya dirumah hanya nonton TV dan main game saja seharian”
“Anakku ngilang terus, maunya gaul dan main saja seharian diluar rumah”
“kalau diajak belajar mukanya cemberut”
“kami ga pernah “ngapa-ngapain” dirumah. Salah ga ya?”
“kenapa ya anakku tidak semangat belajar sama ibunya”
“anakku tidak bisa diatur dan ga penurut seperti anak-anak homeschool yang biasa aku baca diblog”
“sepertinya anakku tidak punya inisiatif dan motivasi seperti anak homeschool yang lain”
“kenapa kegiatan HS kami tidak berjalan harmonis dan penuh cinta seperti keluarga lain?”

Jeng. Jeng. Jeng. Hayo lhooo

#tipsHS ini siapa tauu bisa membantu:

2A. Fahami dan terima bahwa Semua praktisi HSer newbie pasti mengalami ini. Kita adalah produk sekolah. Sekolah adalah satu-satunya pengalaman hidup yang memberi contoh seperti apa harusnya proses belajar yang ideal itu. Mungkin kita kesulitan membedakan “Learning” VS “studying”. Mungkin kita udah ga inget lagi cara belajar diluar cara “sekolahan”. So, “jet lag” ini pasti terjadi. Beri waktu untuk adaptasi. Tarik nafas panjang.

2B. Lihat lagi #tipsHS bagian pertama karena penting banget. Bangun Kebersamaan keluarga. Tingkatkan “connection” ortu-anak. Ortu adalah fasilitator, bukan guru. Kita belajar bersama, bukan mengajari. Caranya… coba cek #1C

2C. Embrace the natural activity. Go with the Flow. Ikutin aja dulu. Anak senangnya nonton TV dan main game? ikutan dooong. Anak senangnya ngelayap mulu keluar? temeniin… Kalau berani, coba biarkan anak yang memimpin kegiatan…intinya….main bareennng ^_^

Nilai plus…. bisa sekalian eksplorasi minat anak lho…

2D. Anak ga nurut ga bisa diatur? Lihat lagi #2B

2E. Keliatannya ga ngapa2in ? Coba buat jurnal atau diary kegiatan dan catatan kegiatan “main2” hari ini. Coba maknai atau perhatikan perkembangan apa yang didapat hari ini. Ga dapet? Gapapa. Simpan dulu catatannya. Suatu hari, balik lagi ke catatan lama. Biasanya keliatan perkembangannya lho. Diary sangat bermanfaat banget.

#3 TIPS MENYUSUN RENCANA BELAJAR (LEARNING VS STUDYING)

ok. jadi, belajar itu terbagi dua, ada yang namanya “Learning”, ada yang namanya “Studying”. Learning itu biasanya dilanjutkan dengan kalimat “Learning opportunities”, anak-anak belajar dimana saja kapan saja. Apapun bisa jadi media belajar anak-anak. Lalu, Studying biasanya berhubungan dengan “formal instruction”, alias belajar dengan adanya susunan kurikulum tertentu atau dengan instruksi. Nah, sebenarnya, bedanya anak HS dan anak sekolah itu ya di “Studying”nya. Pada dasarnya, pasti tiap anak itu “Learning”, yekan? sampai sekarang orang dewasa pun terus Learning.

Nah, trus, gimana dong Studying-nya anak homeschooling itu? berapa jam sih sebenarnya dirumah? mata pelajaran apa aja sih yang dipelajari ? Kurikulum mana yang dipakai ? Susun jadwalnya gimana?

#TipsHS kali ini mungkin bisa dipakai.

3A. Jangan jadikan lama belajar di sekolah sebagai patokan.

Fahami bahwa jam belajar di sekolah itu disusun dalam rangka “manajemen kelas”. Dengan jumlah siswa, guru, dan kelas yang sedemikian rupa, tentunya perlu disusun agar tidak tumpang tindih dan berjalan dengan lancar. Satu mata pelajaran biasanya mungkin sekitar 120-150 menit, dengan jumlah siswa sekitar 20 – 40 anak. Maka, siswa belajar sehari sekitar 6-8 jam yang terdiri dari beberapa mata pelajaran. Dirumah, dengan jumlah “siswa” yang sangat sedikit, rata-rata paling banyak mungkin sekitar  2-6 anak, maka jumlah jam belajar bisa diturunkan. Ga perlu sampai 6-8 jam, karena perhatian ortu pastinya bisa lebih banyak dalam jumlah waktu yang lebih sedikit. Kemungkinan, bisa jadi, cukuplah 1-2 jam sehari.

Rumus yang biasanya digunakan adalah menggunakan perbandingan 1:4 , 1 jam di sekolah = 15 menit di rumah. Dasar pemikirannya, di kelas, dalam satu mata pelajaran, 1 guru harus membagi perhatiannya ke puluhan siswa tersebut, diperkirakan mungkin satu anak dapatlah perhatian sekitar 15 menit.

Rumus ini tentu saja sangat fleksibel. hanya sebagai contoh saja. Silakan jadwalkan sebaiknya berapa lama belajar di rumah masing-masing berdasarkan kebutuhan dan gaya belajar keluarga. Mau 2 jam sehari bisa. Mau 6 jam sehari juga gapapa. Tau kebutuhan dan gaya belajar bagaimana? Kembali ke #TipsHS bagian pertama untuk tahu ya.

3B. Menyusun jadwal bagaimana? enaknya anak HS, tentunya jadwal bisa sangat fleksibel. Kita bisa saja menjadwalkan 1 hari terdiri dari beberapa mata pelajaran. Tapi kalau satu pelajaran ternyata terlalu asyik untuk di stop, ngapain juga toh dihentikan dan diganti pelajaran lain? kan ga ada jadwal guru lain yang akan terganggu. Dilain pihak, jika anaknya mudah bosen, mungkin saja lebih asyik jika sehari terdiri dari banyak mata pelajaran agar anak terus semangat.

3C. Untuk menentukan mata pelajaran mana yang dipelajari, sebenarnya kembali ke Visi dan Misi Pendidikan Keluarga. Belum punya? Nah, mungkin sudah mulai deh ditulis. Apa sih tujuan pendidikan keluarga Anda ? Ga harus jadi plek jadilah.. Belum tau apa yang mau ditulis? balik ke #TipsHS bagian pertama lagi. Kenali keluarga Anda.

Kalau kita lihat, kurikulum nasional 2009 mencanangkan 11 mata pelajaran. kurikulum nasional 2013 ada 7 mata pelajaran. Di luar negeri, lebih dikit lagi. Finlandia, misalnya, hanya mewajibkan 2 mata pelajaran dengan 4 mata pelajaran pilihan siswa itu sendiri. Mau fokus ke ujian sekolah? ada beberapa mata pelajaran. Kembali ke Al-Quran dan Hadits ? Mungkin bisa saja jadi lebih fokus.

Jadi mau yang mana? Salah satu kelebihan HS adalah fleksibilitas. Kita bisa tentukan sendiri sesuai keluarga. Kekurangannya….karena fleksibilitas itu pilihan terbentang luas. Kalau Kita belum punya Visi keluarga, emang jadi overwhelmed! Jadi bingung mau ambil yang mana.

3D. Ga ada jadwal “studying” ? ya gapapa juga. Kalau kita yakin Anak lebih cocok belajar dengan gaya informal ala “Learning”, silakan aja lanjut…. Gimana bisa yakin? balik lagi ke #TipsHS bagian pertama 😀

#4 TIPS MENGHADAPI ANAK 24 JAM SEHARI 7 HARI SEMINGGU

24/7 bareng anak-anak, yang boneng? 40 hari anak libur sekolah aja udah bikin suntris. Rumah berantakan. Anak2 berantem. Emak banyak kerjaan lain. Dah mana sumbu pendek pulak emosi emaknya. Gimana dong biar sabar.

Beberapa tahun sempet juga nanya2 kiri kanan, trus dikumpul2in. #TipsHS ini mungkin bisa membantu.

4A. Berdamai dengan keadaan. Ok. Selama ini idealisme kita selalu bertabrakan dengan realitas. Tentang anak. Tentang pasangan. Tentang rumah. Tentang apapun. Langkah awal, ya kudu berdamai dengan keadaan. Ga usah bandingkan dengan keluarga lain atau rumah lain. We all have our own battle. ^_^

4B. Libatkan anak dalam (hampir) semua aspek. Jangan ditelen, dikerjain, dipikirin sendiri. Ajak2 dunk. Mulai dari membereskan rumah sampai merencanakan jadwal belajar. Diskusi bersama. Kesulitan memulai diskusi? Berarti kembali ke #tipsHS bagian pertama. Beresin dulu connection dan kebersamaan keluarga.

4C. Selalu berpikir positif. Don’t expect your kids to age beyond their age. Mereka belum tahu tata krama, belum bisa atur emosi, belum mengenal keterbatasan fisiknya. Mungkin dengan demikian, kita bisa lebih berempati alih-alih berkesal hati. Fokus dan apresiasi pada kebaikan Anak yang ditunjukkan.

4D. Don’t take it personally. Jangan masukkin ke hati. Anak tantrum? Itu mereka lagi gagal mengontrol emosinya sendiri, jadi kita perlu bantu menenangkan, bukan ikut2an tantrum

4E. Asah sense of humor Anda. Coba lihat peristiwa lebih tenang tanpa emosi dengan melihatnya sebagai hal yang lucu, kreatif, dan seru. Air yang tumpah, Bedak yang bertaburan, dlsb. Hihihi. Lalu, praktekkan tips #2 diatas waktu bersih2.

#5 TIPS MENGHADAPI PERTANYAAN DAN KOMENTAR ORANG LAIN

Ok, anakmu ga sekolah. Resikonya… ya dapet komentar dan pertanyaan tentang homeschool. Males dengernya? Bosen ? Ya udah sih. Mau gimana lagi 🙂

#TipsHS kali ini mungkin bisa membantu. Jangan kayak saya yang lupa muluk sama tips sendiri soal ini yak :p

5A. Belajarlah untuk membedakan mana  komentar yang “mengandung” nada positif (orang yang pro HS), mana yang negatif (orang yang kontra HS).

5B. Orang yang pro HS, biasanya komentarnya mengandung kalimat keinginan untuk HS tapi ga dilakukan karena alasan A B C D. Berarti orang itu sedang sedikit curcol, ya gapapa, dengerin aja. Kalau ada pertanyaan, ga perlu dijawab dengan jawaban menggebu2 dan panjang lebar. Dibawa santai aja. Jangan lupa senyum 🙂

5C. Orang yang kontra HS, biasanya komentarnya mengandung kalimat kelemahan-kelemahan HS dan kenapa itu ga baik untuk dijalankan. Berarti orang itu sedang menguatirkan kita. Ya gapapa, namanya juga perhatian 🙂 ga perlu membela diri dengan jawaban menggebu2 dan panjang lebar. Dibawa santai aja. Jangan lupa senyum 🙂

5D. Kalau ada yang komentar dan beneran bertanya karena sungguh2 ingin belajar, bukan cuma kepo dan curhat, ya arahkan dan membantu semampunya. Kalau lalu ga jadi homeschool, ya gapapa. Ikhlasin.

Perlu diingat, memutuskan homeschool itu memang butuh faith. Keyakinan. Dan keyakinan itu memerlukan orang tersebut untuk berjalan mencari jawaban atas kegalauannya sendiri.

5E. Pegel, capek ditanya mulu? Ya balik lagi ke #tipsHS bagian ke #4. Berdamailah dengan keadaan :p

#6 TIPS MENGHADAPI KAKEK NENEK TERCINTA

“APAAAA…CUCUKU GA SEKOLAAAHH ???” jeng jeng jeng….*masukkin medley musik horror*

Siapa lagi yang paling peduli kesejahteraan dan masa depan anak selain orangtuanya? Nah iya, para Eyang.

kebayang ga seh gimana rasanya tau udah susah payah jungkir balik nyekolahin anak, eh ndilalah cucunya malah kagak sekolah. Pegimane ini, pegimaneee… hayo lhooo

#TipsHS kali ini mungkin bisa berguna.

6A. Kecuali suasananya enak dan mendukung untuk diskusi, sebaiknya jangan coba2 untuk beri informasi tentang HS secara terang2an. Mau disampaikan sehalus mungkin, tetep aja akan terasa menggurui, sok tahu, dan mengecilkan orangtua. Bagaimanapun, kita akan terus keliatan lebih sedikit pengalamannya di hadapan beliau.

6B. Jadilah pendengar yang baik, dan berempatilah pada keresahan beliau. Dengarkan nasehatnya. Rasakan kegalauannya. Apalagi kalau keresahan beliau pernah juga kita rasakan.

6C. Coba cari pihak ke3 yang kira2 bisa menyampaikan informasi tentang HS, syukur2 isi hati kita ke beliau…

Caranya?

6C-1. Coba screening anggota keluarga kita mana yang paling terbuka pemikirannya, yang kita bisa share tentang HS. Biasanya dia akan mencoba menjembatani tentang ini. Bisa juga ke sahabat kita yang kira2 cukup dekat dengan ortu kita.

6C-2. Kalau para eyang ada di socMed dan suka kepo baca blog kita, manfaatkan sebaik2nya dengan menulis status tentang HS, proses belajar anak, dan lain sebagainya yang berhubungan. Kalau ga OL di socmed, berarti informasi mengenai perkembangan anak perlu lebih kreatif gimana bisa sampai ke para eyang, hehe.

6C-3. Coba selipkan buku, artikel, video, berita tentang HS dimana aja ada kesempatan. Hihihi

6C-4. Ajaklah untuk berpartisipasi dalam proses belajar anak. Ortu bisa apa? Masak? Dagang? Ngaji?

6C-5. Sekali2 ajak para eyang untuk ketemu keluarga HS lain dan lihat kegiatan anak. Biarkan mereka ngobrol dengan keluarga lain dan para eyang lainnya. Belum menjalin pertemanan keluarga dengan keluarga HS dengan gabung bersama komunitas? Penting lho. Nanti ya di #tipsHS berikutnya!

Minimal banget, coba ajak ke ajang tahunan macam festival pendidikan, seminar homeschooling dan sejenisnya. Suasana yang gembira dalam sharing dan berjejaring biasanya lebih membuka mata. ^_^

#7 TIPS MENGHADAPI PASANGAN TERCINTA

Kalau diperhatikan nih, suami istri homeschooling itu kebanyakan pasangan yang romantis. Kompak aja getho. Bisa saling diskusi. Bikin perencanaan hidup. Berbagi tanggung jawab pendidikan anak. Beuh. Enak tenan. Ngiri dah.

Trus, melirik pasangan sendiri deh… Trus ngerasa, aduh. bisa ga ya HS. Pasangan Frontal melarang HS sih engga. Tapi bantu2 juga ga. Kalau ngritik sih….cepet. Boro2 diajak diskusi visi keluarga. Jadi gimana dong?

Mungkin bisa pake #TipsHS ini.

7A. Fokus ke kebaikan pasangan. Sekeciill mungkiinn. Apa biasanya kontribusi beliau dirumah ? Apresiasi tindakannya dengan rasa syukur. Romantisme pernikahan emang beda ya. Ga ketemu kebaikannya? Balik ke #TipsHS bagian pertama. Tingkatkan connectionmu. Bangun kebersamaan keluarga…caranya…

7B. Cari lagi kesamaan kesukaan kalian, dan bangun kebiasaan dengan melakukan bersama. Misalnya, nonton bareng? Lalu diskusi deh tentang itu.

7C. Kenali apa hobi pasanganmu. Apa kesukaannya? Coba ikut masuk dan dukung ke dunianya. Ajak anak2 untuk ikutan. Bagaimanapun, keluarga itu kan saling support, kan? Minta pasangan untuk melibatkanmu dan anak2 untuk hobinya. Jadikan bagian dari proses belajar anak dengan pasangan sebagai mentornya. Tapi… Jangan maksa yak. Hehe.

7D. #tipsHS bagian ke-6 bisa juga diterapkan untuk pasangan. Terutama nomer 6A,6B,6C. Baca lagi ya. Kali ini dengan perspektif pasangan.

7E. Bangun persahabatan keluarga dengan keluarga HS lainnya. Pengaruh paling besar mungkin bukan kita, tapi ketika para pasangan saling komunikasi. Coba bikin kegiatan “playdate” keluarga jika memungkinkan. Atau, biarkan pertemanan berjalan lebih alami melalui komunitas HS yang paling cocok untuk keluarga Anda.

Belum membangun pertemanan ? Mungkin sudah waktunya mulai berjejaring. Beneran deh, ga bakal nyesel.

7F. Ini #TipsHS dari keluarga Pak Dodik dan Mba Septi, kata mereka, setiap kita berkegiatan bersama anak, buatlah kegiatan itu seseru mungkin, hingga Anak2 ga berhenti2 cerita, sampai bikin pasangan jadi tertarik untuk bergabung. 🙂

7G. Lihat lagi #tipsHS bagian 4A. Terima keadaan. Jangan bandingkan dengan keluarga lain. We all have our own battle.

 

 

Menggosok Lantai dan Mengecat Pagar

Saat sedang sharing dengan teman-teman yang baru akan mulai homeschooling, saya menilai yang paling berat dilalui adalah proses deschooling, yaitu proses dimana menghilangkan unsur-unsur belajar ala “sekolahan”. Ibaratnya kita terbiasa menjadi katak dalam tempurung yang lalu tempurungnya dibuka, dan ternyata, meski kita sudah bisa melihat cakrawala dan luasnya langit yang bisa kita raih, untuk melakukan lompatan “lebih tinggi” dari tinggi tempurung yang selama ini menutup kita tidak serta merta berlangsung mulus dan seketika.

Contohnya adalah, Saat kita bersiap-siap dengan penuh semangat dan “bahan bakar” penuh, kita lalu merasa anak kita tidak merasakan hal yang sama.
“Anakku maunya hanya nonton TV dan main game saja seharian”
“Anakku cuma mau gaul dan main saja seharian diluar rumah”
“kalau diajak belajar mukanya cemberut”
“kami ga pernah “ngapa-ngapain” dirumah. Salah ga ya?”
“kenapa ya anakku tidak semangat belajar sama ibunya”
“anakku tidak bisa diatur dan ga penurut seperti anak-anak homeschool yang biasa aku baca diblog”
“sepertinya anakku tidak punya inisiatif dan motivasi seperti anak homeschool yang lain”
“kenapa kegiatan HS kami tidak berjalan harmonis dan penuh cinta seperti keluarga lain?”

Mendengar curhatan ini, saya lalu teringat dengan film lama “Karate Kid” saat saya masih kecil dulu. bagi Anda yang belum menonton film itu, film itu menceritakan seorang anak korban bully yang minta diajari karate secara privat oleh Mr. Miyagi, bapak2 tua yang tinggal didekat rumahnya. Alih-alih diajari karate, beberapa minggu anak itu hanya disuruh menggosok lantai dan mengecat pagar. Begitu terus setiap hari. Suatu hari, karena sudah muak dengan tugasnya, anak itu memutuskan protes ke Mr. miyagi. Saat protes, Mr. miyagi melakukan serangan yang ternyata mudah ditangkis oleh anak itu. rupanya, gerakan menggosok lantai dan mengecat lantai adalah “gerakan dasar” tangkisan dalam karate.

jika dihubungkan dengan homeschooling, Jika kita berhenti fokus pada subyek atau materi yang ingin kita sampaikan dan mulai fokus pada anak kita, cobalah perhatikan dan amati lebih serius, maka sesungguhnya, anak-anak kita saat ini sedang “menggosok lantai” dan “mengecat pagar” sesuai panggilan hati mereka. Misalnya saja, anak saya yang saat ini sedang kerajingan game minecraft. Saking suka dan senangnya dengan game ini, anak saya berinisiatif melakukan riset mengenai minecraft di youtube dan meng-upgrade diri dengan cara menonton tutorialnya berulang-ulang. Selain itu, dia juga membaca petunjuknya yang ternyata 90% tulisan minim gambar. Lalu, dia juga mencoba praktek bikin sendiri, dan membuat tutorial ala dia sendiri, tidak lupa dipresentasikan ke saya dengan semangat ingin mengajari.

Sudah 2 minggu kerajingan ini belum berakhir, saya mendapati bahasa Inggris atala berkembang dengan pesat. Aksen bicaranya semakin “fluent” dan “native” dan kemampuannya menjelaskan, mengungkapkan pendapat juga semakin baik.

Saya berpendapat, mengganti materi atau subyek “minecraft” dengan “sains”, “agama”, “matematika”, dan yang lain-lain yang kita anggap “penting” tidak akan terlalu susah. Tapi menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan kemampuan bicara/presentasi, kemampuan riset dan mengupgrade diri sendiri, itu priceless!!

Saya jadi semakin mengerti mengapa Raymond moore bahkan berani mencantumkan batas usia 12 tahun dalam mempraktikkan “better late than early” saat bicara pendidikan dasar. jangan-jangan Mbah Raymond sedang meminta kita untuk “menggosok lantai” dan “mengecat pagar” alih-alih berlatih kuda-kuda karate ala sekolah privat karate.

Oleh karena itu, Berhentilah belajar ala sekolah yang mementingkan pencapaian target kurikulum, yang fokus pada materi belajar, dan yang fokus pada ingin menjadikan anak penurut dan gampang diatur supaya target belajar tercapai.

Fokuslah pada anak. Perhatikan Kegiatan “menggosok lantai” dan “mengecat pagar” apa yang paling anak itu sukai, lalu mari kita mulai dari situ. Fokus pada menumbuhkan rasa percaya diri dan keinginannya untuk “mengajari diri sendiri (self-learning)”.

Jadi, kegiatan “menggosok lantai” dan “mengecat pagar” apa yang dilakukan anak hari ini? sharing yuuk!!! ^_^

Rapunzel dan homeschooling

Beberapa bulan yang lalu, Aku menonton Rapunzel di bioskop bareng Atala. Aku jadi teringat homeschooling dan asumsi orang lain terhadap homeschooling.

Lho, memang hubungannya Rapunzel dengan homeschooling apa? Ya, tahu dong Rapunzel tinggalnya dimana? di tower tinggi banget tanpa tangga, sehingga orang lain tidak bisa masuk, jauh di pelosok hutan sehingga tidak ditemukan. Kalau dari persepsi Rapunzel, dia sedang dilindungi oleh sang ibu Gothelnya dari segala ancaman mara bahaya dunia ini. Supaya dia bisa selamat.

Aku seperti tersadar, bahwa seperti itulah pandangan orang luar mengenai homeschooling. Aku sudah jauh menyakini homeschooling, jadi lupa bagaimana orang luar melihatnya. Rapunzel yang sendirian berusaha menyibukan diri untuk membunuh waktu. Melukis. Membaca. Menjahit. Semua hal yang “akademis” dan “intelektual”. Dan bertanya-tanya, “kapan ya my life begin?”

Makanya berkali kali berulang kali, orang luar akan berkata, “bagaimana dengan sosialisasi? kasian nanti kesepian dan bosan”. kesepian dan bosan. That’s homeschooling assumption.

Apakah sungguh asumsi? Aku tanpa sengaja pernah membaca skripsi (universitas di Indonesia) di internet tentang penelitian anak homeschooling, dan kesimpulannya, menurut penelitian itu, anak homeschooling yang diteliti merasa kesepian dan bosan. Lho? ternyata ada toh orangtua yang mempraktekkan “homeschooling” seperti begitu?

Lucunya, bagi para homeschooler, penggambaran Rapunzel di tower tanpa tangga dan jauh didalam hutan itu justru gambaran untuk anak sekolahan. Anak-anak sekolah yang terperangkap dalam gedung yang bahkan diberi pagar tinggi dan dijaga satpam biar tidak ada “kabur” atau lebih buruk, tidak ada yang masuk untuk melakukan tindak “yang tidak diinginkan”. Jauh dari “dunia nyata”. Di dalam gedung tersebut, anak-anak Melukis. Membaca. Menjahit. Melakukan hal untuk membunuh waktu. Semua hal yang “akademis” dan “intelektual”. Kalau dari persepsi anak-anak sekolahan, mereka sedang dilindungi oleh sang ibu Gothelnya dari segala ancaman mara bahaya dunia ini. Supaya mereka bisa selamat. Supaya masa depan mereka terjamin.

Apakah ada yang mempertanyakan sosialisasi anak sekolah? ga ada masalah toh? kan banyak anak-anak disitu? Rasanya, tidak ada yang mempertanyakan apakah anak-anak sekolahan bisa merasa kesepian dan bosan (yang kenyataannya banyak). Dan mereka pun juga bertanya-tanya, “kapan ya my life begin?”

Hal ini juga terlihat dari film anak-anak “Finding Nemo” , dimana diawal film, sang ayah ragu menyekolahkan anaknya karena “it’s not safe out there”. Artinya, keinginan supaya anak tidak sekolah merupakan cara ayah “mengurung” dan membuatnya tetap “aman terkendali”. Ini juga bisa jadi simbol bagaimana anak tetap dalam “kontrol” orangtua.

Sebaliknya, dalam film “happy feet”, si mumble yang tidak betah sekolah dan mengutarakan keinginan untuk “bekerja sama bareng ayah bunda”, malah dibentak sama ayahnya dengan mengatakan, “kau harus tetap sekolah, until you get yourself an education!”. Lagi-lagi kontrol orangtua.

Intinya aku mau ngomong apa ya? Ya intinya, parent control itu ada dimana-mana. Sebagai orangtua, kemungkinannya selalu ada dorongan untuk mengontrol anak kita. Apapun motif dibalik itu. Lalu, sejauh manakah “kontrol” orangtua terhadap anak sesungguhnya? konon selalu akan ada yang memberi masukan, “hati-hati, kalau tidak bisa mengontrol anak, maka anak yang mengontrol kita”. artinya, sebagai orangtua kita senantiasa diingatkan supaya kendali harus berada ditangan kita. Maka dimana-mana selalu ada “tips and trick” supaya orangtua selalu berada dalam kendali. Entah untuk kebaikan si anak, untuk ketenangan pribadi, atau untuk motif yang lainnya. Sebagian orangtua, melakukannya dengan cara frontal: mulai dari sikap otoriter maupun dari sikap mudah marah saat merasa “hilang kontrol”. Sebagian orangtua melakukannya dengan ala nanny 911, ada punishment, ada reward, ada peraturan A B C D, dan sebagian orangtua lain melakukannya dengan cara yang lebih halus dan tersamar. Seperti mother Gothel di film Rapunzel yang menggunakan cinta, rasa aman, dan bahkan rasa bersalah kepada Rapunzel jika melakukan sesuatu “diluar” persetujuan si ibu.

Kalau dipikir-pikir, Mother Gothel mungkin sesungguhnya bisa jadi menggunakan kontrol yang lebih powerful dari jenis kontrol manapun. Dia menggunakan “pengaruh”nya untuk mengontrol Rapunzel, dan pengaruh tidak bisa terjadi tanpa adanya trust (percaya) dari Rapunzel. Artinya, Mother Gothel “bersusah payah” membangun relationship dengan Rapunzel, sehingga trust (percaya) itu hadir. Karena, tidak semua orangtua mau “bersusah payah” membangun trust dengan anaknya supaya “pengaruh orangtua” selalu ada dalam kehidupan si anak.

Maka, yang perlu ditanyakan adalah, apakah sungguh hubungan orangtua dan anak itu merupakan hubungan “adu kekuatan” ?? siapa mengontrol siapa? siapa yang lebih kuat mengontrol yang lebih lembek??

Lalu pertanyaan berikutnya, memangnya ada alternatif lain selain ini? lalu kalau tanpa kontrol, bagaimana kita bisa “mengendalikan” anak kita?? 🙂

Bagaimana menurut Anda?? 🙂

Menjadi Mentor bukan Pengajar

Dalam kehidupan, menurut e-book “Adventures in Parenting”, orangtua hendaknya menjadi mentor (penasehat, pengawas, pembimbing) bagi anak-anaknya. Apa itu mentor? Mentor adalah seseorang yang menyediakan dukungan, petunjuk, persahabatan, dan penghargaan. Menjadi mentor bisa diibaratkan menjadi pelatih dalam pertandingan sepakbola. Tugasnya adalah melihat dan mengidentifikasikan kelemahan dan kelebihan setiap pemain. Saat berlatih, seorang mentor berdiri di pinggir lapangan dan melihat jalannya pertandingan tanpa ikut campur. Dia memberi nasehat apa yang sebaiknya dilakukan pemainnya. Tetapi jalannya permainan sepak bola bergantung pada pemain itu sendiri. Pada intinya, seorang pelatih memberikan masukan yang dianggapnya lebih baik untuk kepentingan pemain, mendengarkan pendapat pemain, dan siap menjadi pembimbing saat dibutuhkan.

Orangtua sebagai mentor, melakukan hal yang kurang lebih sama. Mengembangkan potensi dan minat anak, menawarkan nasehat dan dukungan, memberikan pujian, menjadi pendengar yang baik, dan menjadi teman. Mentor membantu anak mengembangkan potensi mereka yang kadangkala ditempuh dengan kesalahan dan airmata, menuju sukses dan senyuman. Seorang mentor menyadari kesalahan kecil bisa saja menghasilkan sukses yang besar di kemudian hari. Oleh sebab itu, seorang mentor mendorong anak untuk terus berusaha apapun yang terjadi.

Baik orangtua yang memutuskan homeschooling maupun mengirim anaknya ke sekolah, mereka tidak pernah berhenti menjadi mentor bagi anak-anaknya. Hanya bedanya, orangtua homeschooler memutuskan untuk terlibat langsung dalam pendidikan anaknya dan menjadikannya dalam ritme kehidupan si anak tanpa dibatasi oleh ruang, waktu, dan bahkan seragam sekolah.

Orang tua homeschooler biasanya menginginkan anaknya menjadikan segala hal sebagai “sumber pembelajaran” dan tidak berhenti belajar hanya karena bel pulang sudah berbunyi. Dan yang pasti, orangtua homeschooler tidak menginginkan anaknya hanya belajar untuk mengejar nilai, membaca buku teks karena kewajiban, atau hanya belajar hanya supaya lulus ujian.

Belajar adalah buat membuka potensi diri anak yang didorong oleh minat dan kebutuhan mereka. Sebagai mentor, orangtua homeschooling membantu anak-anaknya untuk meraih potensi terbaiknya dengan bahagia.

Antara Sekolah, Homeschooling, dan Unschooling

Jika pendidikan kita bisa umpamakan kesehatan, maka, ide dari mendidik anak adalah menanamkan pentingnya hidup sehat.

Melalui sekolah, anak belajar aneka ragam olahraga, dan belajar aneka ragam resep makanan sehat, bukan hanya itu, anak juga belajar bercocok tanam tanaman organik, dan belajar gaya hidup sehat.

pada prakteknya, sebagian besar sekolah -meski tidak semua- mewajibkan anak menguasai semua jenis olahraga dan harus handal untuk jago semua jenis masakan, mendapatkan nilai terbaik di semua pelajaran adalah tujuan untuk setiap anak. Jika ada satu mata pelajaran yang gagal, maka anak wajib mengulang semuanya dari awal.

Orangtua yang menyekolahkan anaknya, yang teringat akan tujuan menyekolahkan anak tentunya akan berkata, “aku menyekolahkan anakku supaya mereka tahu bahwa hidup sehat itu penting. penanaman ini yang penting. Kenapa harus benar-benar menguasai? toh tujuannya bukan untuk jadi atlet atau koki handal, kecuali memang anakku berminat. Selama anakku tahu pentingnya olahraga, bisa memilih makanan sehat dan yang bukan, bisa memasak sendiri meskipun tidak jago-jago banget..gapapa kok”

Orangtua yang berniat homeschool, akan berkata, “anakku akan lebih baik kudidik sendiri. menanamkan hidup sehat tidak perlu ikut campur pihak lain. Apalagi yang terpenting adalah praktek dalam kehidupan sehari-hari. Kalau hanya tahu dan sekedar yang penting lulus ujian dan tidak benar-benar ada perubahan tingkah laku, buat apa?? Kami bisa belajar bersama-sama tentang itu. Kalau toh jika suatu hari anakku ingin jadi atlet atau koki, mereka bisa langsung kuliah dibidang itu, dan saat ini bisa mendaftar ke klub masak atau klub olahraga”

Orangtua yang berniat unschooling mungkin akan berkata…. “ini persoalan perubahan gaya hidup. hidup tidak perlu terbagi antara olahraga, makan sehat, dan hidup. ini adalah satu kesatuan. untuk hidup sehat, tidak perlu menggunakan sepatu olahraga atau harus bangun pagi-pagi untuk lari pagi atau sengaja pergi ke lapangan bola. Mau belajar masak tidak perlu menjadwalkan khusus. Yang penting adalah menjalankan hidup yang aktif (active life) dan memasak karena merupakan keperluan sehari-hari. Setiap hari, kami memilih naik tangga ketimbang naik lift, naik sepeda ketimbang nyetir mobil. Kami mengubah menu dan cara makan dari awal. ini adalah persoalan gaya hidup (life style). Jika suatu hari anakku ingin jadi koki atau atlet, dia bisa serius mendalaminya, dan kami akan mensupport keputusannya”

seperti memasukkan gajah ke dalam kulkas

Suatu malam, seorang tetangga memberi satu perumpamaan yang sudah sering aku dengar, tapi baru berkesempatan untuk merenunginya. Katanya,

“Bagaimana caranya memasukkan gajah ke dalam kulkas?”

Jawabannya:

“Buka pintunya, masukkan gajah, tutup pintu lagi deh”

Gajah, dalam bayangan kita tentunya adalah sesuatu yang sangat besar, sedangkan kulkas dalam bayangan kita mungkin adalah kulkas yang ada di rumah kita selama ini. Terkadang, bagi kita, saat hendak melakukan dan memikirkan sesuatu, segalanya ribet dan rumit, lebih besar dari kita, dan lebih lebih lainnya. Karena saking pusingnya, belum apa-apa, kita sudah menyerah duluan.

Padahal, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah sesederhana membuka pintu terlebih dahulu. Ukuran gajah dan ukuran kulkas mungkin tidak seperti dalam benak kita, belum lagi jika kita berkesempatan membaca berbagai cara memasukkan gajah ke dalam kulkas yang disajikan secara menarik di situs sini*) , semakin menyadari kita bahwa banyak sekali cara dan jawaban yang bisa kita jadikan alternatif.

Dalam hubungannya dengan homeschool, terkadang dalam memandang homeschool pun awalnya kita akan membayangkan seperti gajah yang akan dimasukkan ke dalam kulkas. Tapi bukan hanya itu, walaupun pada akhirnya kita bisa “berdamai” dengan pemikiran-pemikiran menjlimet kita, dan mulai bisa “membuka pintu” dan memasukkan “gajah” tersebut, para praktisi homeschooler masih harus berhadapan dengan orang-orang disekitar mereka yang punya komentar betapa sulitnya “memasukkan gajah ke dalam kulkas”.

Jadi, biasanya, saat baru memulai homeschool, salah satu pertanyaan paling diajukan adalah “bagaimana menghadapi orang terdekat dan orang sekitar yang seringkali “menyerang” atau setidaknya mempertanyakan ide homeschool kita?”

Tentunya “menggiurkan” sekali bagi kita yang tengah semangat homeschool untuk mendiskusikan “cara terbaik memasukkan gajah ke dalam kulkas”. Tapi sebenarnya, mungkin saja ini hal yang repot dilakukan, terutama sekali jika ternyata saat berdiskusi kita tidak dalam pijakan yang sama, misalnya saja, dalam membayangkan ukuran gajah dan ukuran kulkas itu sendiri.

Satu hal penting, ternyata kita memang sebaiknya tidak perlu membicarakan bagaimana “memasukkan gajah kita ke dalam kulkas kita”, tapi justru dalam menjawab, kita perlu melihat “gajah” dan “kulkas” orang dihadapan kita, dan mencoba membantu mereka membuka pintu kulkas mereka. bukan kita. Permasalahannya lagi, buat apa kita selalu “repot-repot” membantu orang lain “membuka pintu” kulkas mereka, terutama jika niat mereka justru mempertanyakan “gajah” dan “kulkas” kita.

Untuk mempermudah, saya membaginya seperti ini:

1. yang kontra HS

bagi yang memberi komentar karena kontra dengan HS, menurut saya sebisa mungkin kita bisa melihatnya tidak sebagai komentar yang offensif (menyerang), sehingga kita bisa merasa
tidak punya kewajiban untuk defensif (membela diri). Dengan menganggap omongan mereka sebagai masukan, biasanya pada akhirnya kita bisa melihat sudut pandang mereka, dan ikutan manggut-manggut. Saya pikir, kalau dari awal mereka sudah berkomentar dan punya kesimpulan sendiri terhadap HS (ukuran gajah dan ukuran kulkas versi mereka), biasanya mereka tidak butuh pemikiran saya tentang HS itu sendiri. (saya tidak perlu memberikan pandangan “membuka pintu” tersebut)

Jawaban standar: “iya, biasanya memang itu yang selalu jadi keraguan orang untuk HS”

2. yang pro-HS

orang yang pro-HS, tapi tidak ber-HS, ketika mengetahui kita berniat untuk HS, terkadang mereka merasa perlu untuk defensif, memberi alasan-alasan mereka kenapa tidak ber-HS, dan biasanya supaya pilihan untuk tetap mengirim anak ke sekolah terlihat sebagai hal yang paling tepat dilakukan, tentu saja perlu sedikit memberikan “komentar” tentang HS. Maka, saya pikir, mereka juga tidak butuh pemikiran saya tentang HS itu sendiri. (saya tidak perlu memberikan pandangan, membantu “membuka pintu”)

Jawaban standar: kurang lebih sama dengan diatas.

Paling mudah, memang berdiskusi pada orang yang secara terbuka memang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai homeschool, dan secara terbuka, mencoba melihat “ukuran gajah” dan “ukuran kulkas” dari perspektif berbeda. dalam hal ini, kesempatan membantu “membuka pintu” supaya setidaknya faham (tidak perlu ikutan HS juga tidak apa :-D), tentunya lebih terbuka.

Lalu, jika orang-orang tersebut tidak “terbuka”, bagaimana menghadapinya?

kalau tips terbaik dari saya adalah dengan “bergerilya”. tidak dihadapi secara langsung.

Terkadang, yang perlu kita lakukan adalah sesederhana membuka pintu kita sendiri. Lalu biarkan orang lain melihat bagaimana kita “memasukkan gajah” kita ke dalam kulkas.

*) situs yang dimaksud: http://www.funnydot.com/jokes/How-To-Put-An-Elephant-Into-A-Refrigerator.html